image







Arti Hijauan Sebagai Makanan Ternak Kelinci

Kelinci termasuk hewan herbivora yang dapat memanfaatkan sejumlah besar tanaman yang mengandung serat kasar (Anonymuous, 1980). Cheeke dan Patton (1981) meramalkan bahwa di masa yang akan datang penggunaan butiran sebagai makanan manusia akan meningkat dan akan berkurang ketersediaannya untuk makanan ternak serta lebih mahal. Dengan demikian ternak akan lebih efisien menggunakan hijauan yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Kesukesan dalam pemeliharaan kelinci adalah meliputi seleksi ransum guna mendapatkan ransum yang ekonomis tetapi cukup memuaskan untuk produksi, mencukupi kebutuhan makanannya dan menggunakan bahan-bahan yang mudah disediakan oleh peternak (Templeton, 1968). Natasasmita (1970) mengatakan bahwa hijauan yaitu: rumput-rumputan, daun-daunan dan batang-batangan yang masih muda merupakan makanan yang paling disukai kelinci. Daun kangkung (Ipomosa aquatica Forak) merupakan hijauan yang umum dikonsumsi baik oleh manusia maupun ternak kelinci. Di Indonesia tanaman ini mudah ditemui dan menurut Lubis (1963) baik sekali untuk diberikan kepada ternak babi, ayam dan itik. Lebih lanjut Lubis (1963) mengatakan bahwa kangkung banyak mengandung zat-zat makanannya adalah sebagai berikut: 32,97% protein; 6,95% lemak; 30,19% BETN; 13,72% serat kasar; dan 16,18% abu. Setiap ekor kelinci mampu menghabiskan 1-2 kg hijauan sehari tergantung pada umur/besar kelinci tersebut (Anonynmous, 1981). Daun-daunan yang masih segar serta sayur-sayuran mengandung 90% air, karena tinggi kadar air tersebut maka makanan kelinci yang hanya terdiri dari daun-daunan segar saja tidak akan mempercepat peningkatan berat badannya (Anonymous, 1980). Begitu pula untuk tanaman yang telah tua tidak akan menambah pertambahan berat badan, karena kadar serat kasarnya tinggi sedang kadar proteinnya rendah (Anggorodi, 1979). 

Untuk mempercepat laju pertumbuhan, Templeton (1968) menganjurkan agar dalam ransum mengandung protein kasar 2-3% dan 5% bagi kelinci muda. Salah satu ransum yang tinggi nilai gizinya yang perlu ditambahkan dalam makanan adalah tepung darah. Templeton (1965) menyatakan bahwa tepung darah terdiri atas 9,1% air; 85% zat protein; 1,6% lemak dan 4,3% abu. Kadar protein dapat dicerna 73,1% dan Martabat Patinya 72. Sedangkan menurut Morrison (1969), kandungan protein kasar dari tepung darah cukup tinggi dibandingkan dengan hasil ikutan lain yang berasal dari hewan, yaitu lebih dari 80%. 

Di Indonesia, tepung darah mudah diperoleh melalui cara-cara pengolahan yang sangat mudah dan sederhana. Darah segar yang berasal dari pembantaian hewan, dipanaskan atau didihkan. Setelah darah tersebut menggumpal, kemudian dibuang airnya lalu dikeringkan dan digiling (Lubis, 1963). Cara pengolahan tersebut menurut Lubis (1963) menghasilkan tepung darah dengan kandungan protein kasar dan protein dapat dicerna masing-masing sebesar 85% dan 73%. 

Lockhart dan Bryant (1960) mengemukakan perbedaan kualitas tepung darah atas dasar proses pengolahahnnya. Mereka berpendapat bahwa tepung darah yang diperoleh dengan proses pengolahan "freese drying" berkualitas lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pengolahan berdasarkan proses "vat drying". Perbedaan kualitas tersebut mungkin desebabkan karena pengolahan "vat drying" menggunakan suhu yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan kerusakan protein. Sedangkan Kratser dan Green (1957) berpendapat bahwa tepung darah yang dikeringkan dengan cara "spray drying" mengandung kualitas protein yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung darah hasil pengolahan "vat drying". Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa cara-cara pengeringan pun penting sekali artinya untuk mempertahankan kualitas protein dari tepung darah tersebut.

*Syahrul Anwar Adjam dan Vincent Gasperz (1984) Universitas Nusa Cendana Kupang


Artikel Terkait:

lintasberita

0 komentar:

Posting Komentar