image







RAHASIA KESUKSESAN TEH BOTOL SOSRO

Coca-Cola dan Pepsi adalah segelintir perusahaan asing yang produk minumannya familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Saking hebatnya brand image yang dibangun sehingga seolah-olah produk mereka telah manjadi bagian dari hidup bangsa kita. Dengan leluasa mereka menjadikan indonesia dengan segala potensinya menjadi pasar empuk bagi produk yang dihasilkan. Tidak banyak produk indonesia yang begitu membanggakan dan mampu "menghajar" kekuatan kapitalis internasional itu. Salah satu produk membanggakan itu adalah Teh Botol Sosro.

Kesuksesesan sosro dalam merebut hati konsumen Indonesia sesungguhnya dilihat dari aspek pemasaran cukup unik. Sosro,dalam beberapa hal, telah mengabaikan hukum-hukum umum yang terdapat di ilmu pemasaran. Misalnya saja mengenai perlunya riset pasar sebelum meluncurkan produk. Konon kabarnya sebelum sosro hadir, ada sebuah perusahaan asing yang ingin mengeluarkan produk teh dalam botol sepert yang dilakukan sosro saat ini. Kala itu sang perusahaan menyewa jasa sebuah biro riset pemasaran untuk menguji kelayakan dan prospek produk tersebut di Indonesia. Setelah meneliti dan mengamati kebiasaan minum teh di masyarakat sang biro pun menyimpulkan bahwa produk ini tidak memiliki prospek bagus untuk dipasarkan di Indonesia. Biro itu beralasan bahwa budaya minum teh pada bangsa Indonesia umumnya dilakukan pagi hari dalam cangkir dan disajikan hangat sehingga kehadiran teh dalam kemasan botol justru akan dianggap sebuah keanehan.
Sosrodjojo, pendiri perusahaan sosro, justru berpikir sebaliknya. Awalnya ide kemasan botol berasal dari pengalaman tes cicip (on place test) di pasar-pasar tradisional terhadap teh tubruk cap botol. Pada demonstrasi pertama teh langsung diseduh di tempat dan disajikan pada calon konsumen yang menyaksikan. Namun cara tersebut memakan waktu lama sehingga calon konsumen cenderung meninggalkan tempat. Kemudian pada uji berikutnya teh telah diseduh dari pabrik dan kemudian dimasukkan ke dalam tong-tong dan dibawa dengan mobil. Akan tetapu cara ini ternyata membuat banyak teh tumpah selama perjalanan karena saat itu struktur jalan belum sebaik sekarang. Akhirnya sosro mencoba untuk memasukkannya pada kemasan-kemasan botol limun agar mudah dibawa. Beranglkat dari itu merekaberpikir bahwa penggunaan kemasan botol adalah alternatif yang paling praktis dalam menghadirkan kenikmatan teh lansung ke konsumen.

Dari awal produk ini ditargetkan untuk konsumen yang sering melakukan perjalanan seperti supir dan pejalan kaki sosro . Sosro menyadari bahwa segmen konsumen ini memiliki keinginan hadirnya minuman yang dapat menghilangkan dahaga di tengah kelelahan dan kondisi panas selama perjalanan. Atribut kepuasan ini dicoba untuk dipenuhi dengan menghadirkan minuman teh dalam kemasan botol yang praktis dan tersedia di kios-kios sepanjang jalan. Untuk menambah nilai kepuasan teh botol ini disajikan dingin dengan menyediakan boks-boks es pada titik-titik penjualannya (penggunaan kulkas pada saat itu belum lazim).

Tentu saja merubah kebiasaan tak semudah membalik telapak tangan . Pada masa-masa awal peluncurannya, teh botol sosro tidak banyak dilirik oleh konsumen. Mereka justru menganggap aneh produk ini karena kemasan botol dan penyajian dinginnya. Namun sosro tidak patah arang. Perusahaan ini terus mengedukasi pasarnya melalui iklan-iklan di berbagai media dan promosi-promosi on the spot. Perlahan tapi pasti produk teh botol sosro mulai mendapatkan tempat di hati konsumen Indonesia. Terlebih ketika slogan "Apapun makannya, minumnya teh botol sosro" di munculkan. Slogan ini tidak saja mengguncang sesama produk teh namun juga produk minuman secara keseluruhan.

Keunikan kedua dari metode pemasaran teh botol sosro adalah pada kekakuan dari produk itu sendiri. Sesuai teori pemasaran, konsumen secara alami mengalami perubahan atribut kepuasan seiring berjalannya waktu. Perubahan itu dapat disebabkan karena gaya hidup, kondisi ekonomi, atau kecerdasan yang maik meningkat. Seiring perubahan pasar itu harusnya produk yang dipasarkan harus menyesuaikan dan mengikuti tren yang ada. Namun yang terjadi pada produk teh inovatif ini justru kebalikan. Semenjak diluncurkan pada tahun 1970, produk teh botol sosro baik rasa, kemasan logo maupun penampilan tidak mengalami perubahan sama sekali. Bahkan ketika perusahaan multinational Pepsi dan Coca cola masuk melalui produk teh Tekita dan Frestea, Sosro tetap tak bergeming. Alih-alih merubah produknya, dengan cerdas sosro justru melakukan counter branding dengan mengeluarkan produk S-tee dengan volue yang lebih besar. Strategi ini ternyata lebih tepat, kedua perusahaan multinasional itu pun tak berhasil berbuat banyak untuk merebut hati konsumen Indonesia.

Sekelumit kisah sukses sosro itu memberi pelajaran pada kita betapa pemasaran tidak hanya sekedar ilmu yang eksak. Faktor knowledge terkadang hanya memberi kontribusi kecil pada kesuksesan produk kita ketika dipasarkan. Faktor sisanya adalah seni dan intuisi yang dapat memandu para pemasar mencapai hasil yang di luar dugaan. Gabungan antara ketiganya lah yang dapat menghasilkan seorang pemasar yang jenius dan berpikir di luar kebiasaan yang Anda. Mungkin tidak banyak orang seperti itu di dunia ini, tapi mungkin juga dari jumlah yang sedikit itu ternyata Anda lah salah satunya.
 
Sumber: http://detiker.com/sales-marketing/marketing-strategy/rahasia-kesuksesan-teh-botol-sosro.html
Read more!
lintasberita

Arti Hijauan Sebagai Makanan Ternak Kelinci

Kelinci termasuk hewan herbivora yang dapat memanfaatkan sejumlah besar tanaman yang mengandung serat kasar (Anonymuous, 1980). Cheeke dan Patton (1981) meramalkan bahwa di masa yang akan datang penggunaan butiran sebagai makanan manusia akan meningkat dan akan berkurang ketersediaannya untuk makanan ternak serta lebih mahal. Dengan demikian ternak akan lebih efisien menggunakan hijauan yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Kesukesan dalam pemeliharaan kelinci adalah meliputi seleksi ransum guna mendapatkan ransum yang ekonomis tetapi cukup memuaskan untuk produksi, mencukupi kebutuhan makanannya dan menggunakan bahan-bahan yang mudah disediakan oleh peternak (Templeton, 1968). Natasasmita (1970) mengatakan bahwa hijauan yaitu: rumput-rumputan, daun-daunan dan batang-batangan yang masih muda merupakan makanan yang paling disukai kelinci. Daun kangkung (Ipomosa aquatica Forak) merupakan hijauan yang umum dikonsumsi baik oleh manusia maupun ternak kelinci. Di Indonesia tanaman ini mudah ditemui dan menurut Lubis (1963) baik sekali untuk diberikan kepada ternak babi, ayam dan itik. Lebih lanjut Lubis (1963) mengatakan bahwa kangkung banyak mengandung zat-zat makanannya adalah sebagai berikut: 32,97% protein; 6,95% lemak; 30,19% BETN; 13,72% serat kasar; dan 16,18% abu. Setiap ekor kelinci mampu menghabiskan 1-2 kg hijauan sehari tergantung pada umur/besar kelinci tersebut (Anonynmous, 1981). Daun-daunan yang masih segar serta sayur-sayuran mengandung 90% air, karena tinggi kadar air tersebut maka makanan kelinci yang hanya terdiri dari daun-daunan segar saja tidak akan mempercepat peningkatan berat badannya (Anonymous, 1980). Begitu pula untuk tanaman yang telah tua tidak akan menambah pertambahan berat badan, karena kadar serat kasarnya tinggi sedang kadar proteinnya rendah (Anggorodi, 1979). 

Untuk mempercepat laju pertumbuhan, Templeton (1968) menganjurkan agar dalam ransum mengandung protein kasar 2-3% dan 5% bagi kelinci muda. Salah satu ransum yang tinggi nilai gizinya yang perlu ditambahkan dalam makanan adalah tepung darah. Templeton (1965) menyatakan bahwa tepung darah terdiri atas 9,1% air; 85% zat protein; 1,6% lemak dan 4,3% abu. Kadar protein dapat dicerna 73,1% dan Martabat Patinya 72. Sedangkan menurut Morrison (1969), kandungan protein kasar dari tepung darah cukup tinggi dibandingkan dengan hasil ikutan lain yang berasal dari hewan, yaitu lebih dari 80%. 

Di Indonesia, tepung darah mudah diperoleh melalui cara-cara pengolahan yang sangat mudah dan sederhana. Darah segar yang berasal dari pembantaian hewan, dipanaskan atau didihkan. Setelah darah tersebut menggumpal, kemudian dibuang airnya lalu dikeringkan dan digiling (Lubis, 1963). Cara pengolahan tersebut menurut Lubis (1963) menghasilkan tepung darah dengan kandungan protein kasar dan protein dapat dicerna masing-masing sebesar 85% dan 73%. 

Lockhart dan Bryant (1960) mengemukakan perbedaan kualitas tepung darah atas dasar proses pengolahahnnya. Mereka berpendapat bahwa tepung darah yang diperoleh dengan proses pengolahan "freese drying" berkualitas lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pengolahan berdasarkan proses "vat drying". Perbedaan kualitas tersebut mungkin desebabkan karena pengolahan "vat drying" menggunakan suhu yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan kerusakan protein. Sedangkan Kratser dan Green (1957) berpendapat bahwa tepung darah yang dikeringkan dengan cara "spray drying" mengandung kualitas protein yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung darah hasil pengolahan "vat drying". Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa cara-cara pengeringan pun penting sekali artinya untuk mempertahankan kualitas protein dari tepung darah tersebut.

*Syahrul Anwar Adjam dan Vincent Gasperz (1984) Universitas Nusa Cendana Kupang
Read more!
lintasberita

Efisiensi Pakan Kelinci

Nilai efisiensi penggunaan pakan menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dalam satu kilogram pakan (Card dan Nesheim, 1972). Ensminger dan Olantine (1978) menyatakan bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi dan tata laksana yang baik, akan menyebabkan angka efisiensi ransum kelinci berkisar antara 0,25-0,35, sedangkan menurut Cheeke et al (2000), dapat berkisar antara 0,25-0,28. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan boboy badan sedangkan serat dalam ransum akan menurunkan bobot badan.

Menurut Rommers (2001) kelinci New Zealand White dengan bobot badan lebih dari 4 kg dan kurang dari 3 kg, yang disapih pada umur 4,5 minggu serta diinseminasi pertama pada umur 14,5 minggu memiliki nilai efisiensi pakan lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci yang mempunyai bobot badan antara 3,5-4 kg, yaitu sebesar 0,266.


Penelitian Fernandez dan Fraga (1996) melaporkan efisiensi pakan pada kelinci yang diberikan pakan mengandung lemak nabati (minyak kedelai) lebih tinggi dibandingkan kelinci yang diberi pakan yang mengandung lemak hewani.


*Skripsi Arifah Rizqiani, Fakultas Peternakan-IPB
Read more!
lintasberita
 

Lorem ipsum

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Donec libero. Suspendisse bibendum. Cras id urna. Morbi tincidunt, orci ac convallis aliquam, lectus turpis varius lorem, eu posuere nunc justo tempus leo. Donec mattis, purus nec placerat bibendum, dui pede condimentum odio, ac blandit ante orci ut diam.