image







Jadwal Imsakiyyah Ramadhan 1432 H/2011 M daerah Bogor dan sekitarnya

Jadwal Imsakiyyah Ramadhan 1432 H/2011 M daerah Bogor dan sekitarnya
Read more!
lintasberita

Berbagai Pertimbangan Sosial Ekonomi dalam Usaha Ternak Kelinci Skala Kecil dan Menengah (1)

ABSTRAK

Ternak kelinci mempunyai keunggulan biologis dibandingkan hewan lain sebab dapat dikawinkan setiap saat setelah mencapai dewasa, mempunyai banyak anak, jarak beranak yang lebih pendek dan pertumbuhan yang cepat. Sebagai tambahan, keunggulan ekonomi usaha ternak kelinci skala kecil dan menengah adalah: (i) memerlukan modal investasi dan modal kerja yang kecil;(ii) memerlukan luasan lahan yang sempit; (iii) dapat memanfaatkan limbah pertanian dan industri; (iv) menghasilkan daging secara efisiesn; dan (v) hasil produksi yang bervariasi seperti daging, kulit dan bulu, pupuk organik dan hewan kesayangan. Selanjutnya, daging kelinci cocok dengan gaya hidup orang modern yang memilki protein tinggi (20,8%), lemak rendah (10,2%), energi rendah (7,3 MK/kg energi) dan kolesterol dan garam yang rendah dibandingkan dengan daging lainnya terutama daging sapi, daging domba/kambing dan daging babi. Namun demikian, usaha peternakan kelinci di Indonesia mempunyai hambatan antara lain tidak semua penduduk Indonesia menyukai daging kelinci dan pada saat ini komoditas kelinci tidak menjadi program prioritas pemerintah. Kampanye makan daging kelinci berskala nasional perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pengembangan produk yang berasal dari daging kelinci sedang berlangsung di Indonesia seperti sesis, nugget, corned, bakso dan burger. Penyuluhan tentang cara peternakan kelinci yang beik perlu ditingkatkan. Analisis sosial dan ekonomi usaha ternak kelinci skala kecil dan menengah menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat menjadi usaha yang sangat menjanjikan bagi peternak kecil sehingga dapat digunakan sebagai alat pengentas kemiskinan, parbaikan status gizi keluarga dan mengurangi pengangguran di daerah pedesaan dan perkotaan. Penyediaan bibit dan pakan yang berkualitas baik dan pencegahan dan pengobatan penyakit yang sering menyerang kelinci merupakan langkah utama dalam pengembangan usaha peternakan kelinci skala kecil dan menengah agar menjadi kegiatan yang menguntungkan dan berkelanjutan. Sebagai kasimpulan, usaha ternak kelinci skala kecil dan menengah mempunyai peranan penting dalam menghasilkan daging merah, mengurangi tingkat pengangguran di daerah pedesaan dan perkotaan, meningkatkan kesejahteraan peternakan dalam hal ini peningkatan pendapatan dan perbaikan gizi keluarga. Usaha ternak kelinci skala kecil dan menengah dapat merupakan sumber pendapatan harian bagi peternak dari hasil penjualan berbagai macam produk seperti kelinci dewasa untuk dipotong, anak dan kelinci dewasa sebagai hewan kesayangan, kulit dan bulu untuk suvenir dan kerajinan tangan dan kotoran dan urin sebagai pupuk organik. Penggabungan usaha ternak kelinci skala kecil dan menengah dengan tanaman seperti hortikultura, tanaman pangan, kehutanan dan perikanan menghasilkan keuntungan dari pupuk organik dari peternakan kelinci dan pakan kelinci yang melimpah dari hasil samping pertanian sehingga dapat meningkatkan produksi ternak kelinci dan usaha pertanian sekaligus dan mengurangi limbah pertanian dari sistem "zero waste".

Sumber: Socio-EconomicConsideration in Small And Medium Rabbit Farming oleh Tjeppy D. Soedjana dalam International Conference on Rabbit Production 24-25th July 2007, Indonesian Centre for Animal Research and Development. Bogor-Indonesia (2008)
Read more!
lintasberita

Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron (3)

Testosteron:
Ekstrak testis di dapatkan mula-mula oleh Brown dan Sequard pada tahun 1889. Ekstrak ini mempunyai efek androgenik pada binatang yang telah di-kastrasi. Kemudian testosteron dapat di-isolasi oleh David et. al. pada tahun 1935 (Von Euler, 1963).
Testosteron mampunyai efek sebagai berikut:
Anatomik: - pertumbuhan jaringan dari alat kelamin sekunder; antara lain glandula prostata, glandula vesiculosa, penil dll; - perumbuhan otot (volume otot bertambah);- pertumbuhan rambut; - pertumbuhan ginjal.
Biokemik: - menaikkan kadar enzym arginase dan alkaline fosfatase; - menaikkan metabolisme dalam alat kelamin sekunder; - metabolik efek: sintesa protein naik.
Neurologik: - mempengaruhi erektabilitas penis; - memacu agresivitas pada laki-laki; - menyebabkan euphoria.
seperti telah diketahui bahwa sekresi hormon testosteron oleh sel-sel interstitiil Leydig dipengaruhi oleh hypofise. Sehingga apabila dilakukan hypofisektomi pada binatang percobaan akan terjadi atrofi dari testisnya. Sebaliknya apabila pada binatang percobaan dilakukan gonadoktomi/kastrasi, akan terjadi hypersekresi dari gonadotropin oleh sel-sel delta basofil hypofise, (Brooks, 1961). Pengamatan histologik menunjukkan pembengkakan sel-sel delta basofil serta banyak mengandung granula sekretoris (Bloom, 1970).
Williams (1967) mengadakan pengamatan pada manusia yang diberi testosteron propionat dengan dosis 25 mg/hari didapatkan: - gonadotropin di dalam urin berkurang sampai hilang, - terjadi perubahan besarnya testis, - terjadi azoospermia
Sedang biopsi pada testis menghasilkan:- pengecilan tubuli seminiferi, - hyalinisasi/fibrosis dari membrana tubuli, hypofise sel-sel germanativum, sel-sel interstitiil Leydig menghilang.
Apabila pemberian testosteron ini dihentikan, akan didapatkan lagi gonadotropin di dalam urine. Sedangkan testi akan kembali normal setelah 18-24 bulan. Tetapi ia tidak menyebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada sel-sel hypofise. Maka kami ingin mencoba mengadakan penelitian perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada sel-sel hypofise kelinci jantan setelah mendapat hormon testosteron sintetik tunggal dengan dosis yang relatif tinggi. Apabila ada perubahan-perubahan pada sel-sel hypofise, bagaimanakah sifat perubahan itu, untuk sementara ataukah tidak, dengan kata lain apakah perubahan-perubahan itu, yang mungkin terjadi itu reversibel ataukah irreversibel.
Interpretasi hasil analisa
Dari hasil pengamatan ternyata bahwa penyuntikan hormon testosteron tunggal dengan dosis tinggi terhadap kelinci jantan menunjukkan adanya perubahan-perubahan dalam susunan dan jumlah delta basofil, ternyata bahwa jumlah sel delta basofil menjadi berkurang. Mungkin ini desebabkan karena sekresi gonadotropin berkurang sampai terhenti, sebagai akibat dari berkurangnya atau tidak adanya Gonadotropin Releasing Factor dari hypothalamus karena kadar hormon testosteron dalam darah yang meninggi.
Hal ini jelas terlihat pada binatang yang dibunuh setelah 4 minggu penyuntikan. Tetapi binatang yang dibunuh 8 minggu setelah penyuntikan gambaran sel-sel delta basofil menunjukkan persamaan dengan gambaran pada binatang kontrol. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar hormon testosteron dalam darah telah mulai menurun, karena hormon-hormon testosteron sintetik yang disuntikkan hanya bekerja selama kira-kira 4 minggu.
Penurunan kadar testosteron dalam darah ini menyebabkanhypothalamus mengaluarkan Gonadotropin Releasing Factor lagi, sehingga sel-sel gonadotrop atau sel-sel delta basofil mulai mengadakan sekresi lagi. Dalam hal ini tidak dilakukan pengukuran kadaar gonadotropin dalam urine, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan penelitian Willeams (1967).
Kemungkinan lain ialah bahwa sel-sel selta basofil mengalami kerusakan tingginya dosis testosteron yang diberikan, sehingga tidak mensintesa gonadotropin lagi. Sedangkan telah kita ketahui bahwa sel-sel chromofil termasuk sep-sel delta basofil dapat berasal dari transformasi sel-sel chromofob. Sehingga mungkin sel-sel delta basofil yang baru berasal dari sel-sel chromofob.
Dalam hal sekresi gonadotropin, hypofise dapat dipengaruhi pula oleh lain-laiin faktor, misalnya cahaya, suhu dan lain-lain faktor luar. Salah satu usaha kami untuk mengatasi hal ini ialah dengan dosis yang relatif tinggi, sehingga perubahan-perubahan pada hypofise dapatlah kami anggap disebabkan oleh testosteron yang disuntikkan.
Dengan hasil-hasil sementara di atas, maka perubahn-perubahan/percobaan kami ini, maka kami dapat menyokong suatu cara untuk mengatur kelahiran, yaitu dengan pemberian testosteron sintetik dengan dosis yang tepat untuk menghambat FSH dan ICSH pada pria. Dengan berkurangnya FSH dan ICSH yang dihasilkan oleh hypofise akanterjadi hambatan terhadap spermatogenesis untuk sementara, karena sifat perubahan ini hanya sementara/reversible. Sehingga dengan penghentian pemberian testosteron akan timbul lagi FSH dan ICSH sehingga fungsi testis dalam spermatogenesis akan normal kembali. Tetapi untuk hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut.
Sumber: Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron oleh R Soewarno dkk Fakultas Kedokteran UGM (1975)
Read more!
lintasberita

Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron (2)

Sharrer dan Yamada (Williams, 1967) mendapatkan adanya suatu benda-benda neurosekresi di dalam plexus dari sistema porta hypofise, dan diduga bahwa benda-benda tersebut adalah Releasing Factor. Dengan demikian ternyata bahwa hypothalamus memegang peranan penting di dalam interaksi antara hypofise dan target organ (More, di dalam Brooks, 1961).

Pengeluaran tropik hormon dari hypofise dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di bawah ini:

Releasing Factor yang dihasilkan oleh hypothalamus
Feedback negatip dari target organ

Kelenjar kelamin sebagai target organ dalam aktipitasnya dipengaruhi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh sel-sel gonadotrop dari pars distalis hypofise. Pada binatang jantan, gonadotrop dari pars distalis hormon yang mempengaruhi testis ialah FSH (Follicle Stimulating Hormon) dan ICSH (Interstitial cell Stimulating Hormon).

FSH memepngaruhi spermatogonium di dalam pertumbuhannya sampai spermatosit ordo II. ICSH memacu spermatosit ordo II sampai terbentuk spermatozoon (pemasakan). Selain ini, ICSH juga bekerja pada sel interitiil Leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Testosteron ini sebagai hormon andrigen akan memacu pertumbuhan alat-alat kelamin sekunder. Testosteron juga akan bekerja menghambat sekresi gonadotropin dari hypofise (William, 1967).

Struktur histoligik hypofise terdiri dari sel-sel Chromofil dan chromofob. Sel chromofob adalah sel-sel yang tidak mengambil zat warna sama sekali. Sel ini kecil bergranula halus yang tidak bereaksi terhadap zat warna. Dengan menggunakan pewarnaan khusus yaitu Orang G dan Azocarmine maka sel-sel asidofil dapat dibedakan atas orangeofil dan carminofil mengeluarkan hormon prolaktin.

Sel-sel basofil dengan pewarnaan PAS akan bereaksi positif, berwarna merah ungu gelap, berarti bahwa sel basofil di dalam sitoplasmanya mengandung granula glycoprotein. Dengan membedakan bentuknya, dapat dibedakan dua macam sel basofil, ialah sel beta basofil yang berbentuk trianguler/irreguler; sitoplasmanya mengandung granula halus labih kurang 100 mU. Sel ini menghasilkan hormon thyreotrop. Macam sel yang kedua ialah delta basofil, berbentuk bulat atau oval, mempunyai granula yang kasar dalam sitoplasmanya, kurang lebih 150 mU. Sel ini manghasilkan hormon gonadotrp.

Sel chromofil diduga berasal dari transformasi sel-sel chromofob. Bila sel Chromofil mengalamai de-granulasi, maka sel chromofil ini tidak mengambil zat warna yang diberikan.

Sumber: Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron (1) oleh R Soewarsono dkk Fakultas Kedokteran UGM (1975)
Read more!
lintasberita

Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron (1)

Dalam zaman modern sekarang ini, hormon testosteron dalam praktek sering digunakan sebagai 'obat kuat', karena mempunyai daya dapat menaikkan libido, meninggikan erektabilitas penis, disamping mempunyai efek androgenik yang lain. Tetapi pada pemberian terapi dengan hormon testosteron pada kasus tertentu sering dijumpai justru efek lain yang tidak dikehendaki. Pemberian dengan dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dari hormon testosteron akan menyebabkan penekanan terhadap spermatogenesis baik lewat penekanan terhadap fungsi hypofise maupun hypothalamus, disamping pengaruh tidak langsung terhadap testis. Seperti diketahui hormon testosteron terutama dihasilkan oleh sel-sel interstitil Leydig di dalam testis. Pada saat ini telah banyak dihasilkan senyawa-senyawa sintetik hormon testosteron.

Harris (von Euler, 1963) pada tahun 1948 menemukan bahwa rangsangan luar pada sistema nervorum mempengaruhi pengeluaran tropik hormon oleh sel-sel pada pars distalis hypofise. Menurut Brooks (1961) hubungan tersebut adalah melalui perantaraan suatu neurohumor yang dikeluarkan oleh hypothalamus dan disalurkan melalui sistema porta hypofise tersebut ke sel-sel pars distalis. Kepentingan dari sistema porta hypofise dalam hal ini telah dibuktikan oleh De Groot (1952). Harris (von Euler, 1963) pada tahun 1960 menemukan bahwa bila rangsangan diberikan secara kronis terhadap hypothalamus akan menyebabkan terjadinya sekresi glandula thyreoidea. Greer (Brooks, 1961) mengadakan percobaan perusakan terhadap hypothalamus mengaakibatkan tidak adanya jawaban dari penurunan kadar thyroxin dalam darah. Ini berarti tidak adanya sekresi hormon thyreotropik dari pars distalis hypofise.

Williams (1967) mengatakan bahwa ada suatu substansi yang dilepaskan oleh hypothalamus dan dusalurkan ke hypofise. Substansi ini dinamakan Thyreotrop Releasing Factor. Ternyata sekarang ini diketemukan lain-lain Releasing Factor, misalnya Gonadotrop Releasing Factor dan lain-lain. Tempat pelepasan Releasing Factor ini ialah di daerah Eminentia mediana dari tuber cinereum dimana akhiran-akhiran axon dari hypothalamus berakhir disitu, untuk kemudian melalui pembuluh darah dari sistema porta hypofise dialirkan ke pars distalis hypofise untuk mempengaruhi sel-sel dalam sekresi hormon-hormon tropik.

Sumber: Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron oleh R. Soewarsono dkk Fakultas Kedokteran UGM (1975)
Read more!
lintasberita

Situasi Lokal

Di Jawa, benyak desa-desa, terutama di daerah Cikole-Lembang, Bandung, yang telah mengembangkan pemeliharaan kelinci unggul sebagai sumber protein (Mamur Suriatmadja-Kom. langsung, 1981). Dan sistem pemeliharaan kelinci ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan minimum akan daging per orang (8 kg/tahun). Dengan tiga ekor induk dan satu pejantan, cukup untuk memproduksi 1-1.5 kg daging/minggu untuk keluarga yang terdiri dari 6-8 orang. Pakan kelinci umumnya berupa campuran hijauan yang tersedia secara lokal, ditambah dehgah sisa sayuran dan dedak padi. Sistem yang sederhana ini tampak berhasil dan satu lagi bahan bacaan tentang pemeliharaan kelinci secara sederhana telah diterbitka oleh Rollos dan Tuwo (1982).

Beberapa hambatan utama yang harus diatasi terlebih dahulu untuk mengembangluaskan pemeliharaan kelinci pada tingkat pedesaan adalah: Usaha untuk mempopulerkan kelnci sebagai ternak penghasil daging yang cocok untuk konsumsi manusia.
Pendidikan mengenai pentingnya masalah gizi. Menyadarkan masyarakat di desa tentang pentingnya mengkonsumsi daging dan hanya menjual kelinci-kelinci yang berlebih saja. Suatu bantuan berupa insentif mungkin berguna untuk diberikan bagi mereka yang benar-benar hanya menjual kelinci yang berlebih.
Membuat suatu sistem manajemen pemeliharaan yang sederhana tetapi efektif. Sistem ini harus menjamin produksi daging kelinci secara terus menerus dan teratur dalam suatu jangka waktu tertentu.
Menyediakan pakan yang diperoleh dengan usaha minimum, atau jika mungkin tanpa biaya. Sistem 'potong dan bawa' (cut and carry) hijauan dan suplementasi dedak padi tampaknya akan berhasil baiik dan memiliki beberapa keuntungan.
Membuat pola kandang murah, membentuk lingkungan yang paling sesuai untuk kelinci dengan kondisi higiene yang baik untuk mengurangi timbulnya penyakit.

Salah satu kendala utama dalam usaha pemeliharaan kelinci secara meluas di Indonesia adalah suhu dan kelembaban yang tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu identifikasi bangsa dan jenis kelinci yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada kondisi suhu dan kelembaban setempat. faktor-faktor seperti lokasi, daerah peternakan, tipe perkandangan pertimbangan utama. Prosedur manajemen seperti jenis, cara dan waktu pemberian pakan dan kepadatan ternak juga merupakan pertimbangan utama dalam hubungannya dengan 'cekaman' karena suhu.

Dedak padi tampaknya merupakan konsentrat yang baik sebagai pelengkap hijauan. Namun, untuk lebih mendayagunakan dedak padi dan juga produk limbah lainnya yang tersedia secara lokal. diperlukan suatu identifikasi performance produksi yang diharapkan dari ternak yang diberi pakan ini.

Penggunaan jenis-jenis hijauan yang dianggap potensial serta kombinasinya dalam penyediaan zat gizi pakan untuk kelinci perlu dipelajari. Termasuk kedalam jenis hijauan ini adalah hijauan leguminosa dan sayur-sayuran.

Karena pada dasarnya pemeliharaan ternak kelinci ini ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan, maka sepatutnyalah bila program penelitian ditujukan pada produksi kelinci di tingkat pedesaan. Dalam program seperti ini peranan wanita pedesaan harus diaktifkan, karena pada kenyataannya, mereka ini turut aktif berpartisipasi dalam menunjang pemeliharaan kelinci di desa (Cale dan Carloni, 1982).

Penelitian jangka panjang yang lebih rumit dan kompleks diperlukan untuk persiapan sistem komersial yang mampu memelihara kelinci dalam jumlah besar, pada konsdisi kelembaban tinggi di daerah tropis.

Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

Penyakit yang Biasa Terjadi Pada Kelinci

Jumlah kematian pada kelinci yang disebabkan oleh penyakit sangat tinggi. Diperkirakan antara 15 sampai 40% kematian terjadi dari kelahiran sampai penyapihan (Lang, 1981b). Dalam usaha komersial, kira-kira 20% kematian untuk semua jenis kelinci yang dilahirkan (Cheeke dan Patton, 1981), meskipun pada usaha-usaha peternakan lain dapat mencpai 50%.

Enteritis Kompleks

Kedalam istilah ini termasuk kondisi-kondisi dari sebab-sebab yang tidak diketahui, yang sering terjadi dalam bentuk diarhea (Whitney, 1970; Grobner, 1982). Penyakit yang kompleks ini merupakan penyebab kematian yang paling umum pada kelinci di peternakan (Portsmouth, 1977). Suatu keadan 'enterotoxemia' yang disebabkan oleh sejumlah organisme termasuk Escherichia coli (Prescot, 1978) dan Clostridium perfringens (Cheeke dan Patton, 1980) yang menghasilkan racun. Toksin-toksin ini mungkin merusak lapisan dalam saluran usus dan menyebabkan diarhea. Akhir-akhir ini Bondon dan Prohaska (1980) menunjukkan bahwa sejenis virus juga dapat menyebabkan enterotoxemia pada kelinci. Cheeke dan Patton (1980) telah mengajukan teori kelebihan muatan karbohidrat dalam ransum kelinci. Ransum yang mengandung banyak biji-bijian dan sedikit jumlah serat kasar tampaknya sering dihubungkan dengan kejadian enterotoxemia. Namun Cheeke dan Patton (1981) memperingatkan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi (>20%) dapat menyebabkan enteritis mukosa. Kejadian ini diamati pada ransum yang mengandung sejumlah serat (15-20%) yang dusuplementasi dengan jerami olahan (hay) atau bahan-bahan yang berkadar serat tinggi. Enterotoxemia pada kelinci dapat dikurangi dengan menambahkan tembaga sulfat (CuSO4) > 350 ppm dalam ransum (Patton dkk. 1982).

Pasteurollis

Pasteurollis merupakan penyakit yang paling gawat yang terdapat pada ternak kelinci. Penyakit ini lebih sering terjadi pada kelinci betina dan kelinci dewasa. Penyakti ini menyerang kelinci melalui beberapa cara, tetapi umumnya disebabkan oleh Pasteurella multocida, mulai dari saluran pencernaan bagian atas. Infeksinya kemudian menjalar pada organ-organ pada organ-organ lain, terutama uterus, testicles, kelenjar susu dan lain-lainnya. Kondisi yang paling umum adalah sinusitis (sinuffles) dan tampaknya berhubungan dengan ventilasi yang kurang baik, yang menyebabkan akumulasi amoniak dan kelembaban yang tinggi. Patton dkk. (1980) melaporkan bahwa kadar amoniak yang tinggi turut bertanggung jawab atas terbiaknya organisme yang menyebabkan snuffles. Pembuangan kotoran yang lebih sering, dikombinasikan dengan ventilasi yang baik tampaknya mengurangi kehadiran penyakit kareana pasteurellosis.

Dalam masa mendatang, penyakit-penyakit pasteurellosis ini dapat dikurangi dengan adanya vaksin (Chengappa dkk. 1980) dan juga pengembangan kelinci yang tahan terhadap pasteurella (Cheeke, 1981b), sehingga hasil pertumbuhan akan lebih baik dan mengurangi tingkat kematian (Anon, 1982).

'Young doe syndrome'

Penyakit ini tampak terjadi pada kelinci-kelinci betina pada kelompok kelahiran (litter) yang pertama dan kedua. Patton dan Cheeke (1980) mengutarakan bahwa ada 2 penyebab penyakit ini. Yang pertama adalah 'septicemia' sebagai akibat dari 'mastitis' yang menyebabkan inflamasi kelenjar susu. Penyebab utamanya adalah Staphyloccus aureus. Organisme ini memasuki kelenjar susu melalui luka pada kelenjar atau puting susu. Sebab yang kedua mungkin karena adanya praktek pemberian pakan yang berenergi atau berkadar bijian tinggi dan perubahan dari suatu program pemberian pakan terbatas ke ad libitum pada waktu melahirkan. Enterotoxemia kemudian berkembang seperti diutarakan di atas. Patton dan Cheeke (1980) merekomendasikan suatu program pemberian pakan dalam usaha meminimumkan pengaruh perubahan cara pemberian pakan.

Kokkidiosis

Penyakit ini termasuk penyakit yang berbahaya pada kelinci, terutama bila kelinci dipelihara di atas lantai. Untuk mengurangi kematian karena kokkidiosis, kelinci umumnya dipelihara dalam kandang berlantai kawat atau sistem baterai. Kokkidiostat, obat kokkidiosis, sering juga disertakan dalam pakan kelinci. Kokkidiosis dapat menjadi faktor penyebab timbulnya enteritis dan kematian.

Skabies

Penyakit ini desebabkan oleh ektoparasit (Sarcooptes scabiei, Notoedres cati) yaitu sejenis kutu yang umum terdapat pada ternak kelinci di Indonesia. Penyakit ini dapat diketemukan terutama pada peternakan-peternakan yang keadaanya kurang higienis, disamping itu penyakit ini cepat menyebar serta dapat menulari manusia.

Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

Kebutuhan Gizi Kelinci Untuk Masa Pertumbuhan

Kebutuhan gizi kelinci telah dipublikasi oleh NRC (1977) dan yang lebih akhir dipublikasi oleh Lebas (1979) (disitasi oleh Cheeke dan Patton, 1981). Kebutuhan-kebutuhan gizi ini erat hubungannya dengan energi yang dapat dicerna. Omole (1982) menganjurkan tingkat protein sebesar 180-220 g/kg ransum, namun lebas (1979) dan Spreadbury (1978), keduanya merekomendasikan hanya 150 g protein/kg ransum, untuk kelinci yang sedang tumbuh. Spreadbury (1978) selanjutnya menyatakan bahwa lysine dan asam-asam amino berbelaerang dibutuhkana, masing-masing sebanyak 9,4 dan 6,2 g/kg ransum. Sedangkan Lebas hanya menganjurkan 6 dan 5 gram.

Dalam penetapan kebutuhan protein dan asam amino, ternyata bahwa ransum yang disusun oleh Spreadbury mengandung 13 MJ DE (digestible energy)/kg. Nyata bahwa jatah protein dan asam-asam amino berhubungan dengan jumlah tinja lunak yang didaur ulang dan selanjutnya berkaitan dengan serat kasar yang terkandung dalam ransum. Lang (1981a) melaporkan bahwa kebutuhan protein untuk kelinci yang sedang tumbuh adalah 6 g/kg ransum.

Kelinci tampaknya mampu untuk menyesuaikan konsumsi pakannya untuk memenuhi konsumsi energi yang kebutuhannya relatif tetap (Cheeke, 1981). Beberapa peneliti telah melihat pengaruh-pengaruh perubahan kandungan energi dalam ransum. Evans (1981) membandingkan tingkat-tingkat energi dan serat kasar dalam ransum dan hasilnya menunjukkan bahwa kelinci dari umur 4-10 minggu tumbuh lebih cepat (P<0,05) pada pakan berenergi tinggi (15 MJ DE/kg) dari pada pakan berenergi rendah (13,8 MJ DE/kg). Ransum yang mengandung serat kasar tinggi (128 g/kg) menunjang pertumbuhan lebih baik daripada ransum berserat kasar rendah (103 g/kg). Efisiensi penggunaan pakan bervariasi dari 2 sampai 2,3. Penelitian lain (Butcher dkk. 1981) menunjukkan bahwa hanya bila DE dikurangi sampai 7,2 MJ/kg terjadi pengurangan pertumbuhan yang nyata dari kelinci-kelinci ini. De Blas dkk. (1981) menganjurkan bahwa rasio optimum DE terhadap protein kasar (g) adalah 98 kJ untuk kelinci yang sedang tumbuh. Nilai ini sedikit lebih tinggi dari 83 kJ, nilai yang dilaporkan oleh Spreadbury (1978). Nilai ini sedikit lebih tinggi dari 83 kJ, nilai yang dilaporkan oleh Spreadbury (1978). Oleh karena adanya sintesa dalam caecum dan juga karena sifat caecotrophynya, maka kelinci hanya membutuhkan sedikit vitamin B, dan untuk ransum yang terdiri banyak hijauan, nampaknya tidak diperlukan tambahan vitamin (Harris dkk. 1983a). Seperti telah diutarakan kelihatannya, serat kasar esensial untuk kelinci. Lebas (disitasi oleh Cheeke dan Patton, 1981) menganjurkan bahwa kandungan protein kasar dalam ransum tidak melebihi 2% dari kadar serat kasarnya. Bentuk ransum juga mempengaruhi pertumbuhan. Harris dkk. (1983b) melaporkan bahwa pada kelinci yang diberi pakan secara prasmanan (choice-feeding), lebih menyukai pakan dalam bentuk pelet daripada dalam bentuk tepung atau butiran. Kelinci yang diberi pakan dalam bentuk pelet bertambah beratnya sebesar 43 g/hari, dan yang bukan pelet hanya 29 g/hari. Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

Pakan Hijauan dan Serat Kasar

Walalupun kelinci kurang mampu mencerna serat kasar dengan efisien, namun ternyata serat merupakan zat gizi pakan yang essensial untuk kehidupan kelinci, terutama untuk mengurangi enteritis (Cheeke dan Patton, 1978; Grobner dll. 1983). Namun pengamatan yang dilakukan akhir-akhir ini menyatakan bahwa tingkat serat kasar yang tinggi (22%) dapat menyebabkan enteritis mukosa (Patton dan Cheeke, 1981). Jerami lucerne atau bungkil lucerne merupakan hijauan yang banyak digunakan untuk ransum kelinci di Amerika Serikat dan kelinci mampu tumbuh dengan tingkat 36 g/hari pada ransum yang mengandung 90% bungkil lucerne (Cheeke,, 1981). Namun ada juga bahan pakan lain (Evans dkk, 1983) seperti, bungkil safflower yang memberikan response yang sama baiknya dengan bungkil lucerne pada jumlah 600 g/kg rannsum, pada masa laktasi dan pertumbuhan (Harris dan Johnson, 1979).

Pengujian terhadap beberapa hijauan dari daerah tropis yang telah dikeringkan menunjukkan bahwa hijauan tersebut dapat digunakan pada tingkat 40% dalam ransum kelinci yang sedang tumbuh (Harris dkk. 1981). Bahan pakan utama dalam ransum pertumbuhan adalah jagung 350 g, bungkil kedele 160 g dan molases 50 g untuk setiap kg ransum. Tingkat pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan yang baik dihasilkan pada ransum yang mengandung Desmodium distortum (Spanish clover) dan Macroptilium lathyroides. Sebaiknya pucuk-pucuk daun singkong, Cassiatora dan daun kecipir (Phosohocarpus tetragonolobus) memberikan hasil yang lebih rendah. Umumnya daya cerna protein dari pakan berhijauan tinggi, pada kelinci adalah sebesar 65-75%. Daya cerna (apparent digestibility) serat (ADF) dan dinding sel sangat bervariasi. sering juga hanya terdapat sedikit perbedaan dalam daya cerna dari 2 fraksi serat ini, yang oleh karena itu diduga bahwa hemiselulosa mungkin tidak dicerna dalam jumlah yang cukup besar. Harris dkk. (1981) menunjukkan dari data ini bahwa efisiensi penggunaan pakan berkorelasi negatif dengan ADF, tetapi berkorelasi positif dengan protein dari pakan.

Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

Pencernaan Pada Kelinci

Kelinci termasuk jenis ternak herbivora yang memfermentasi pakan di usus belakangnya. Fermentasi umumnya terjadi di caekum yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya (Portsmouth, 1977). Pada umur 3 minggu, kelinci mulai mencerna kembali kotoran lunaknya, langsung dari anus (proses ini disebut caecotrophy) tanpa pengunyahan. Kotoran lunak ini terdiri atas konsentrat bakteri yang dibungkus oleh mukus (Hornicke, 1977).

Walaupun mampunyai caecum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak herbivora lainnya (Slade dan Hintz, 1969). Untuk hijauan muda, daya cerna serat kasarnya mungkin hanya 10% (Uden dan Van Soest, 1982). Namun Parker (1976) memperkirakana bahwa asam-asam lemak terbang (VFA, Volatile Faty Acids) hasil fermentasi oleh mikroba dalam cekum menyumbang 30% dari kebutuhan energi untuk pemeliharaan tubuh (maintenance). Selanjutnya dikatakan bahwa kelinci mampu mencerna protein pada tingkat yang sama dengan, dan ekstrak ether pada tingkat yang lebih tinggi dari herbivora lainnya. Hal ini mungkin berhubungan dengan sifat-sifat caecotrophynya.

Kemampuan kelinci untuk mencerna serat kasar (ADF, Acid Detergent Fibbre) dan lemak bertambah pada umur 5-12 minggu (Evans dan Jabeliani, 1982). Hal ini penting artinya dalam standarisasi umur kelinci untuk pengukuran daya cerna (digestibility).

Pencegahan caecotrophy pada kelinci (6-8 minggu) menyebabkan penurunan pertumbuhan dan penurunan kemampuan daya cerna protein dari 77 menjadi 69% (Stephenss, 1977). Meskipun pembuangan caecum melalui pembedahan menghsilkan pembesaran kolon, ternyata kelinci tanpa caecum tidak melakukan caecotrophy (Herndon dan Hove, 1955).

Komposisi kimia dari kotoran lunak sangat berbeda dari kotoran keras yang dikeluarkan (Harris, 1983). Kotoran lunak diselaputi mukosa, mengandung sedikit bahan kering (31%) namun tinggi dalam protein (28,5%) bila dibandingkan dengan kotoran keras (53% bahan kering dan 9,2% protein). Kotoran lunak juga lebih banyak mengandung vitamin B. Knutson dkk. (1977) melaporkan bahwa populasi mikroba yang terdapat dalam caecum sangat aktif dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang memasuki caecum dan protein mikroba ini turut menyumbang tingginya kadar protein dalam kotoran ternak.

Spreadbury (1978) melaporkan bahwa kelinci sapihan dengan berat 1 kg menghasilkan 28 g kotoran lunak, yang mengandung 3 g protein setiap hari. Spreadbury (1978) menghitung bahwa dari 28 g kotoran lunak dikandung o,35 g nitrogen yang berasal dari bakteri atau kira-kira 1,3 g protein. Selama ransum-ransum diatas hanya mengandung kurang lebih 8% serat kasar, kemungkinan perkiraan Spreadbury (1978) bahwa protein kasar (106 g/kg) yang terkandung dalam feses lunak adalah minimum.

Agak sukar dijelaskan mengapa kelinci memiliki kemampuan yang rendah untuk mencerna serat kasar, bahkan sering lebih rendah daripada babi (Farrell, 1973) dan kemungkinan hal ini berhubungan dengan waktu 'transit' yang cepat dari bahan-bahan berserat melalui saluran pencernaan (Uden dan Van Soest, 1982). Sebaliknya Cheeke (1981) menunjukkan bahwa kelinci mampu memanfaatkan kira-kira 75-80% hijauan. Pada ternak ruminansia, serat kasar hijauan memperpanjang waktu penahanan pakan dalam saluran pencernaan, tetapi hal yang sebaliknya terjadi pada kelinci.

Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Pengembangan dan Penelitian Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

Bangsa dan Mutu Daging Kelinci

                Ada dua bangsa kelinci komersial yang paling umum yaitu New Zealand White dan California. Hasil silangan dari kedua bangsa ini disebut White Pearl (California jantan x New Zealand White betina). Kelinci-kelinci pedaging ini dapat mencapai berat 2 kg pada umur 8 minggu dengan tingkat pertumbuhan sebesar 40 g per hari. Hasil karkasnya antara 50-60% dari berat hidup. Bangsa-bangsa kelinci yang lain dari hasil silangannya masih sedang dipelajari (Ourharyoun dan Poujardieu, Lukehfar dkk. 1980, 1981a), terutama dalam penggunaan kelinci jantan tipe besar yang disilangkan dengan induk dari bangsa yang lebih kecil.
            Di Indonesia terdapat bangsa kelinci lokal yang lebih kecil dari kelinci impor. Meskipun kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, mungkin ada gunanya untuk menyilangkan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas.
            Jumlah anak kelinci dari seekor induk (litter size) biasanya 8-10, tetapi tingginya derajat kematian (mortalitas), kurang lebih 25%, menyebabkan hanya 5-6 ekor anak kelinci yang hidup waktu disapih. Penyapihan biasanya dilakukan pada umur 3-5 minggu. Dalam praktek komersial seekor induk dapat dikawinkan kembali 10-15 hari setelah melahirkan. Seekor jantan dapat digunakan untuk melayani 10 ekor induk.
Air susu induk kelinci biasanya mengandung 120 g protein dan 155 g lemak per kg, dengan puncak produksi antara 12-28 hari masa laktasi dan berhenti berproduksi setelah 45 hari. Komposisi air susu berubah dengan tingkat laktasi. Lebih banyak lemak (186 g) dan protein (125 g) yang diproduksi sesudah 4 minggu laktasi (Partridge dkk. 1983).
Daging kelinci yang dapat dimakan mengandung lemak sebesar 75 g/kg dan sebagian besar dalam bentuk lemak tidak jenuh, dengan kandungan kolesterol sebesar 1,39 g/kg. Kandungan energi dan protein karkas dapat berubah karena tingkat pertumbuhan atau karena rasio komposisi bahan pakan dalam ransum (Fraqa dkk. 1983). Kelinci yang lambat tumbuhnya mengandung protein tinggi dan rendah kadar lemaknya dibandingkan dengan kelinci yang cepat tumbuhnya. Pengujian rasa daging kelinci di Amerika menunjukkan bahwa daging kelinci dapat diterima dengan baik, walaupun hamburger yang mengandung daing kelinci sedikit kurang disukai dibandingkan dengan hamburger yang mengandung daging sapi atau campuran daing sapi dengan daging kelinci (50:50) (Rao dkk. 1979).
Berat karkas kelinci (5%) umumnya 50% dari berat hidupnya (W) dan dapat dihitung dari rumus (Lukefahr dkk. 1981b):
41.6 + 6.09 W
Jadi bila berat hidup kelinci = 2 kg, maka berat karkasnya adalah
= 41.6 + 6.09 x 2 = 53.7%
Berat daging yang dapat dimasak (kg) dari berat hidup (W) dan lebar pinggul (L, cm) adalah:
-0.24 + 0.318 W + 0.023 L
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

CEKAMAN SUHU PADA KELINCI


Suhu yang tinggi umumnya menurunkan konsumsi pakan dan akibatnya menurunkan produksi ternak. Kelinci karena berbulu tebal, sangat peka terhadap suhu lingkungan yang tinggi. Stephen (1980) menunjukkan bahwa kelinci-kelinci yang sedang tumbuh, dengan berat awal 1200 g, tumbuh terbaik pada suhu 18derajat celcius. Penurunan berat badan secara drastis terjadi pada suhu 30 derajat celcius dengan kelembaban nisbi 60%. Penurunan berat ini terjadi karena kurangnya konsumsi pakan dan rendahnya efisiensi penggunaan pakan dibandingkan dengan kelinci-kelinci pada suhu 18 derajat celcius. Pada suhu tinggi, performans reproduksi juga berkurang. Pada kelinci jantan sering terjadi kenaikan pH semen, penurunan pergerakan (motility) sperma, berkurangnya konsentrasi sperma dan naiknya jumlah sperma yang abnormal (Hiroe dan Tomizuka, 1965). Hal ini menyatakan adanya penurunan dalam tingkat kehidupan embryo pada suhu tinggi (Shah, 1956). Enos dkk. (1979) melaporkan bahwa kelinci dewasa dianggap steril bila suhu udara sekitar mencapai lebih dari 30 derajat celcius selama 4 atau 5 hari berturut-turut. Meskipun kelinci jantan tersebut tetap aktif, ketidak suburannya terus berlangsung sampai 2 bulan. Enos dkk. (1979) menganjurkan bahwa cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan pejantan muda (6-7 bulan) yang tidak mudah menjadi steril pada suhu 30-32 derajat celcius.
“High temperature generally depresses feed intake and therefore production in domestic livestock. The rabbit, because of its dense fur is particularly vulnerable. Stephen (1980) showed that growing rabbit, initially weighing 1200 g, grew best at 18 degrees and a substantial depression in gain occurred at 30 degrees with a relative humidity of 60%. This depression was due to reduced feed intake and a poorer feed efficiency compared with at 18 degrees. At high temperatures reproductive performance is also reduced. In bucks, there is often an increase in pH of the semen, a fall in sperm motility, a decrease in sperm concentration of abnormal spermatozoa (Hiroe dan Tomizuka, 1965). In does there is a decrease in embryonic survival at high temperature Shah, 1956). Enos et al. (1979) reported that a mature buck is rendered sterile when the ambient temperature exceed 30 degrees for 4-5 consecutive days. Although the buck may remain sexually active, sterllity continues for up to 2 months. Enos et al. (1979) suggested that the way to overcome the problem was to use young bucks (6-7 months) who do not easily become sterile at temperatures around 30-32 degrees.”
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Ternak Penghasil Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
lintasberita

LACTATION

The young are suckled once daily and then for only about 5 min. The doe produces up to 280 g/d of milk containing about 3 MJ of gross energy.  Lukefahr dkk. (1981a) reported average production of 180 g/d for New Zealand White does during the first three weeks of lactation, with a peak yield of 228 g/d. It can be calculated that the doe will need about 32 g/d of additional protein of high biological value to meet the needs of peak lactation. Lebas (disitasi oleh Cheeke dan Patton, 1981) suggested that the diet contain per kg: 180 g crude protein, 7.5 g of lysin, and a DE of 11.3 NJ. This would represent a daily intake of about 400 g during the first three weeks of lactation the doe is in negative energy balance  (Partridge dkk. 1983). She was thus providing nutrients and particularly energy from her body tisssue reserves during most of lactation even though the doe was gaining weight during this time. 
"Anak-anak kelinci hanya menyusui 1 x sehari selama kurang lebih 5 menit. Induk kelinci menghasilkan air susu sampai sebanyak 280 g/hari, yang mengandung sekitar 3 MJ energi kasar. Lukefahr dkk. (1981a) melaporkan rata-rata produksi air susu New Zealand White adalah 180 g/hari selama 3 minggu pertama masa laktasi, dengan puncak produksi sebesar 228 g/hari. Dari hasil ini dapat dihitung bahwa seekor induk kelinci membutuhkan tambahan protein yang bernilai biologis tinggi sebesar  32 g/hari untuk memenuhi puncak laktasi. Lebas (disitasi oleh Cheeke dan Patton, 1981) menganjurkan agar per kilogram ransum mengandung: 180 g protein, 7.5 g lysin dan DE sebesar 11.3 MJ. Jumlah ini akan mewakili konsumsi harian sebesar 400 g selama 3 minggu laktasi. Namun ternyata bahkan dalam kondisi nutrisi yang optimum, setelah minggu pertama laktasi, induk kelinci  keseimbangan energi yang negatif (Partridge dkk. 1983). Oleh karena itu, induk kelinci akan menyediakan zat-zat gizinya, terutama energi dari cadangan jaringan tubuhnya selama hampir seluruh masa laktasi meskipun induk kelinci memperoleh tambahan berat badan selama masa itu."
Sumber: 'Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging', Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984) Read more!
lintasberita
 

Lorem ipsum

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Donec libero. Suspendisse bibendum. Cras id urna. Morbi tincidunt, orci ac convallis aliquam, lectus turpis varius lorem, eu posuere nunc justo tempus leo. Donec mattis, purus nec placerat bibendum, dui pede condimentum odio, ac blandit ante orci ut diam.