Di Jawa, benyak desa-desa, terutama di daerah Cikole-Lembang, Bandung, yang telah mengembangkan pemeliharaan kelinci unggul sebagai sumber protein (Mamur Suriatmadja-Kom. langsung, 1981). Dan sistem pemeliharaan kelinci ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan minimum akan daging per orang (8 kg/tahun). Dengan tiga ekor induk dan satu pejantan, cukup untuk memproduksi 1-1.5 kg daging/minggu untuk keluarga yang terdiri dari 6-8 orang. Pakan kelinci umumnya berupa campuran hijauan yang tersedia secara lokal, ditambah dehgah sisa sayuran dan dedak padi. Sistem yang sederhana ini tampak berhasil dan satu lagi bahan bacaan tentang pemeliharaan kelinci secara sederhana telah diterbitka oleh Rollos dan Tuwo (1982).
Beberapa hambatan utama yang harus diatasi terlebih dahulu untuk mengembangluaskan pemeliharaan kelinci pada tingkat pedesaan adalah: Usaha untuk mempopulerkan kelnci sebagai ternak penghasil daging yang cocok untuk konsumsi manusia.
Pendidikan mengenai pentingnya masalah gizi. Menyadarkan masyarakat di desa tentang pentingnya mengkonsumsi daging dan hanya menjual kelinci-kelinci yang berlebih saja. Suatu bantuan berupa insentif mungkin berguna untuk diberikan bagi mereka yang benar-benar hanya menjual kelinci yang berlebih.
Membuat suatu sistem manajemen pemeliharaan yang sederhana tetapi efektif. Sistem ini harus menjamin produksi daging kelinci secara terus menerus dan teratur dalam suatu jangka waktu tertentu.
Menyediakan pakan yang diperoleh dengan usaha minimum, atau jika mungkin tanpa biaya. Sistem 'potong dan bawa' (cut and carry) hijauan dan suplementasi dedak padi tampaknya akan berhasil baiik dan memiliki beberapa keuntungan.
Membuat pola kandang murah, membentuk lingkungan yang paling sesuai untuk kelinci dengan kondisi higiene yang baik untuk mengurangi timbulnya penyakit.
Salah satu kendala utama dalam usaha pemeliharaan kelinci secara meluas di Indonesia adalah suhu dan kelembaban yang tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu identifikasi bangsa dan jenis kelinci yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada kondisi suhu dan kelembaban setempat. faktor-faktor seperti lokasi, daerah peternakan, tipe perkandangan pertimbangan utama. Prosedur manajemen seperti jenis, cara dan waktu pemberian pakan dan kepadatan ternak juga merupakan pertimbangan utama dalam hubungannya dengan 'cekaman' karena suhu.
Dedak padi tampaknya merupakan konsentrat yang baik sebagai pelengkap hijauan. Namun, untuk lebih mendayagunakan dedak padi dan juga produk limbah lainnya yang tersedia secara lokal. diperlukan suatu identifikasi performance produksi yang diharapkan dari ternak yang diberi pakan ini.
Penggunaan jenis-jenis hijauan yang dianggap potensial serta kombinasinya dalam penyediaan zat gizi pakan untuk kelinci perlu dipelajari. Termasuk kedalam jenis hijauan ini adalah hijauan leguminosa dan sayur-sayuran.
Karena pada dasarnya pemeliharaan ternak kelinci ini ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan, maka sepatutnyalah bila program penelitian ditujukan pada produksi kelinci di tingkat pedesaan. Dalam program seperti ini peranan wanita pedesaan harus diaktifkan, karena pada kenyataannya, mereka ini turut aktif berpartisipasi dalam menunjang pemeliharaan kelinci di desa (Cale dan Carloni, 1982).
Penelitian jangka panjang yang lebih rumit dan kompleks diperlukan untuk persiapan sistem komersial yang mampu memelihara kelinci dalam jumlah besar, pada konsdisi kelembaban tinggi di daerah tropis.
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!






Tampilkan postingan dengan label Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging. Tampilkan semua postingan
Penyakit yang Biasa Terjadi Pada Kelinci
Jumlah kematian pada kelinci yang disebabkan oleh penyakit sangat tinggi. Diperkirakan antara 15 sampai 40% kematian terjadi dari kelahiran sampai penyapihan (Lang, 1981b). Dalam usaha komersial, kira-kira 20% kematian untuk semua jenis kelinci yang dilahirkan (Cheeke dan Patton, 1981), meskipun pada usaha-usaha peternakan lain dapat mencpai 50%.
Enteritis Kompleks
Kedalam istilah ini termasuk kondisi-kondisi dari sebab-sebab yang tidak diketahui, yang sering terjadi dalam bentuk diarhea (Whitney, 1970; Grobner, 1982). Penyakit yang kompleks ini merupakan penyebab kematian yang paling umum pada kelinci di peternakan (Portsmouth, 1977). Suatu keadan 'enterotoxemia' yang disebabkan oleh sejumlah organisme termasuk Escherichia coli (Prescot, 1978) dan Clostridium perfringens (Cheeke dan Patton, 1980) yang menghasilkan racun. Toksin-toksin ini mungkin merusak lapisan dalam saluran usus dan menyebabkan diarhea. Akhir-akhir ini Bondon dan Prohaska (1980) menunjukkan bahwa sejenis virus juga dapat menyebabkan enterotoxemia pada kelinci. Cheeke dan Patton (1980) telah mengajukan teori kelebihan muatan karbohidrat dalam ransum kelinci. Ransum yang mengandung banyak biji-bijian dan sedikit jumlah serat kasar tampaknya sering dihubungkan dengan kejadian enterotoxemia. Namun Cheeke dan Patton (1981) memperingatkan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi (>20%) dapat menyebabkan enteritis mukosa. Kejadian ini diamati pada ransum yang mengandung sejumlah serat (15-20%) yang dusuplementasi dengan jerami olahan (hay) atau bahan-bahan yang berkadar serat tinggi. Enterotoxemia pada kelinci dapat dikurangi dengan menambahkan tembaga sulfat (CuSO4) > 350 ppm dalam ransum (Patton dkk. 1982).
Pasteurollis
Pasteurollis merupakan penyakit yang paling gawat yang terdapat pada ternak kelinci. Penyakit ini lebih sering terjadi pada kelinci betina dan kelinci dewasa. Penyakti ini menyerang kelinci melalui beberapa cara, tetapi umumnya disebabkan oleh Pasteurella multocida, mulai dari saluran pencernaan bagian atas. Infeksinya kemudian menjalar pada organ-organ pada organ-organ lain, terutama uterus, testicles, kelenjar susu dan lain-lainnya. Kondisi yang paling umum adalah sinusitis (sinuffles) dan tampaknya berhubungan dengan ventilasi yang kurang baik, yang menyebabkan akumulasi amoniak dan kelembaban yang tinggi. Patton dkk. (1980) melaporkan bahwa kadar amoniak yang tinggi turut bertanggung jawab atas terbiaknya organisme yang menyebabkan snuffles. Pembuangan kotoran yang lebih sering, dikombinasikan dengan ventilasi yang baik tampaknya mengurangi kehadiran penyakit kareana pasteurellosis.
Dalam masa mendatang, penyakit-penyakit pasteurellosis ini dapat dikurangi dengan adanya vaksin (Chengappa dkk. 1980) dan juga pengembangan kelinci yang tahan terhadap pasteurella (Cheeke, 1981b), sehingga hasil pertumbuhan akan lebih baik dan mengurangi tingkat kematian (Anon, 1982).
'Young doe syndrome'
Penyakit ini tampak terjadi pada kelinci-kelinci betina pada kelompok kelahiran (litter) yang pertama dan kedua. Patton dan Cheeke (1980) mengutarakan bahwa ada 2 penyebab penyakit ini. Yang pertama adalah 'septicemia' sebagai akibat dari 'mastitis' yang menyebabkan inflamasi kelenjar susu. Penyebab utamanya adalah Staphyloccus aureus. Organisme ini memasuki kelenjar susu melalui luka pada kelenjar atau puting susu. Sebab yang kedua mungkin karena adanya praktek pemberian pakan yang berenergi atau berkadar bijian tinggi dan perubahan dari suatu program pemberian pakan terbatas ke ad libitum pada waktu melahirkan. Enterotoxemia kemudian berkembang seperti diutarakan di atas. Patton dan Cheeke (1980) merekomendasikan suatu program pemberian pakan dalam usaha meminimumkan pengaruh perubahan cara pemberian pakan.
Kokkidiosis
Penyakit ini termasuk penyakit yang berbahaya pada kelinci, terutama bila kelinci dipelihara di atas lantai. Untuk mengurangi kematian karena kokkidiosis, kelinci umumnya dipelihara dalam kandang berlantai kawat atau sistem baterai. Kokkidiostat, obat kokkidiosis, sering juga disertakan dalam pakan kelinci. Kokkidiosis dapat menjadi faktor penyebab timbulnya enteritis dan kematian.
Skabies
Penyakit ini desebabkan oleh ektoparasit (Sarcooptes scabiei, Notoedres cati) yaitu sejenis kutu yang umum terdapat pada ternak kelinci di Indonesia. Penyakit ini dapat diketemukan terutama pada peternakan-peternakan yang keadaanya kurang higienis, disamping itu penyakit ini cepat menyebar serta dapat menulari manusia.
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984) Read more!
Enteritis Kompleks
Kedalam istilah ini termasuk kondisi-kondisi dari sebab-sebab yang tidak diketahui, yang sering terjadi dalam bentuk diarhea (Whitney, 1970; Grobner, 1982). Penyakit yang kompleks ini merupakan penyebab kematian yang paling umum pada kelinci di peternakan (Portsmouth, 1977). Suatu keadan 'enterotoxemia' yang disebabkan oleh sejumlah organisme termasuk Escherichia coli (Prescot, 1978) dan Clostridium perfringens (Cheeke dan Patton, 1980) yang menghasilkan racun. Toksin-toksin ini mungkin merusak lapisan dalam saluran usus dan menyebabkan diarhea. Akhir-akhir ini Bondon dan Prohaska (1980) menunjukkan bahwa sejenis virus juga dapat menyebabkan enterotoxemia pada kelinci. Cheeke dan Patton (1980) telah mengajukan teori kelebihan muatan karbohidrat dalam ransum kelinci. Ransum yang mengandung banyak biji-bijian dan sedikit jumlah serat kasar tampaknya sering dihubungkan dengan kejadian enterotoxemia. Namun Cheeke dan Patton (1981) memperingatkan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi (>20%) dapat menyebabkan enteritis mukosa. Kejadian ini diamati pada ransum yang mengandung sejumlah serat (15-20%) yang dusuplementasi dengan jerami olahan (hay) atau bahan-bahan yang berkadar serat tinggi. Enterotoxemia pada kelinci dapat dikurangi dengan menambahkan tembaga sulfat (CuSO4) > 350 ppm dalam ransum (Patton dkk. 1982).
Pasteurollis
Pasteurollis merupakan penyakit yang paling gawat yang terdapat pada ternak kelinci. Penyakit ini lebih sering terjadi pada kelinci betina dan kelinci dewasa. Penyakti ini menyerang kelinci melalui beberapa cara, tetapi umumnya disebabkan oleh Pasteurella multocida, mulai dari saluran pencernaan bagian atas. Infeksinya kemudian menjalar pada organ-organ pada organ-organ lain, terutama uterus, testicles, kelenjar susu dan lain-lainnya. Kondisi yang paling umum adalah sinusitis (sinuffles) dan tampaknya berhubungan dengan ventilasi yang kurang baik, yang menyebabkan akumulasi amoniak dan kelembaban yang tinggi. Patton dkk. (1980) melaporkan bahwa kadar amoniak yang tinggi turut bertanggung jawab atas terbiaknya organisme yang menyebabkan snuffles. Pembuangan kotoran yang lebih sering, dikombinasikan dengan ventilasi yang baik tampaknya mengurangi kehadiran penyakit kareana pasteurellosis.
Dalam masa mendatang, penyakit-penyakit pasteurellosis ini dapat dikurangi dengan adanya vaksin (Chengappa dkk. 1980) dan juga pengembangan kelinci yang tahan terhadap pasteurella (Cheeke, 1981b), sehingga hasil pertumbuhan akan lebih baik dan mengurangi tingkat kematian (Anon, 1982).
'Young doe syndrome'
Penyakit ini tampak terjadi pada kelinci-kelinci betina pada kelompok kelahiran (litter) yang pertama dan kedua. Patton dan Cheeke (1980) mengutarakan bahwa ada 2 penyebab penyakit ini. Yang pertama adalah 'septicemia' sebagai akibat dari 'mastitis' yang menyebabkan inflamasi kelenjar susu. Penyebab utamanya adalah Staphyloccus aureus. Organisme ini memasuki kelenjar susu melalui luka pada kelenjar atau puting susu. Sebab yang kedua mungkin karena adanya praktek pemberian pakan yang berenergi atau berkadar bijian tinggi dan perubahan dari suatu program pemberian pakan terbatas ke ad libitum pada waktu melahirkan. Enterotoxemia kemudian berkembang seperti diutarakan di atas. Patton dan Cheeke (1980) merekomendasikan suatu program pemberian pakan dalam usaha meminimumkan pengaruh perubahan cara pemberian pakan.
Kokkidiosis
Penyakit ini termasuk penyakit yang berbahaya pada kelinci, terutama bila kelinci dipelihara di atas lantai. Untuk mengurangi kematian karena kokkidiosis, kelinci umumnya dipelihara dalam kandang berlantai kawat atau sistem baterai. Kokkidiostat, obat kokkidiosis, sering juga disertakan dalam pakan kelinci. Kokkidiosis dapat menjadi faktor penyebab timbulnya enteritis dan kematian.
Skabies
Penyakit ini desebabkan oleh ektoparasit (Sarcooptes scabiei, Notoedres cati) yaitu sejenis kutu yang umum terdapat pada ternak kelinci di Indonesia. Penyakit ini dapat diketemukan terutama pada peternakan-peternakan yang keadaanya kurang higienis, disamping itu penyakit ini cepat menyebar serta dapat menulari manusia.
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984) Read more!
Pencernaan Pada Kelinci
Kelinci termasuk jenis ternak herbivora yang memfermentasi pakan di usus belakangnya. Fermentasi umumnya terjadi di caekum yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya (Portsmouth, 1977). Pada umur 3 minggu, kelinci mulai mencerna kembali kotoran lunaknya, langsung dari anus (proses ini disebut caecotrophy) tanpa pengunyahan. Kotoran lunak ini terdiri atas konsentrat bakteri yang dibungkus oleh mukus (Hornicke, 1977).
Walaupun mampunyai caecum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak herbivora lainnya (Slade dan Hintz, 1969). Untuk hijauan muda, daya cerna serat kasarnya mungkin hanya 10% (Uden dan Van Soest, 1982). Namun Parker (1976) memperkirakana bahwa asam-asam lemak terbang (VFA, Volatile Faty Acids) hasil fermentasi oleh mikroba dalam cekum menyumbang 30% dari kebutuhan energi untuk pemeliharaan tubuh (maintenance). Selanjutnya dikatakan bahwa kelinci mampu mencerna protein pada tingkat yang sama dengan, dan ekstrak ether pada tingkat yang lebih tinggi dari herbivora lainnya. Hal ini mungkin berhubungan dengan sifat-sifat caecotrophynya.
Kemampuan kelinci untuk mencerna serat kasar (ADF, Acid Detergent Fibbre) dan lemak bertambah pada umur 5-12 minggu (Evans dan Jabeliani, 1982). Hal ini penting artinya dalam standarisasi umur kelinci untuk pengukuran daya cerna (digestibility).
Pencegahan caecotrophy pada kelinci (6-8 minggu) menyebabkan penurunan pertumbuhan dan penurunan kemampuan daya cerna protein dari 77 menjadi 69% (Stephenss, 1977). Meskipun pembuangan caecum melalui pembedahan menghsilkan pembesaran kolon, ternyata kelinci tanpa caecum tidak melakukan caecotrophy (Herndon dan Hove, 1955).
Komposisi kimia dari kotoran lunak sangat berbeda dari kotoran keras yang dikeluarkan (Harris, 1983). Kotoran lunak diselaputi mukosa, mengandung sedikit bahan kering (31%) namun tinggi dalam protein (28,5%) bila dibandingkan dengan kotoran keras (53% bahan kering dan 9,2% protein). Kotoran lunak juga lebih banyak mengandung vitamin B. Knutson dkk. (1977) melaporkan bahwa populasi mikroba yang terdapat dalam caecum sangat aktif dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang memasuki caecum dan protein mikroba ini turut menyumbang tingginya kadar protein dalam kotoran ternak.
Spreadbury (1978) melaporkan bahwa kelinci sapihan dengan berat 1 kg menghasilkan 28 g kotoran lunak, yang mengandung 3 g protein setiap hari. Spreadbury (1978) menghitung bahwa dari 28 g kotoran lunak dikandung o,35 g nitrogen yang berasal dari bakteri atau kira-kira 1,3 g protein. Selama ransum-ransum diatas hanya mengandung kurang lebih 8% serat kasar, kemungkinan perkiraan Spreadbury (1978) bahwa protein kasar (106 g/kg) yang terkandung dalam feses lunak adalah minimum.
Agak sukar dijelaskan mengapa kelinci memiliki kemampuan yang rendah untuk mencerna serat kasar, bahkan sering lebih rendah daripada babi (Farrell, 1973) dan kemungkinan hal ini berhubungan dengan waktu 'transit' yang cepat dari bahan-bahan berserat melalui saluran pencernaan (Uden dan Van Soest, 1982). Sebaliknya Cheeke (1981) menunjukkan bahwa kelinci mampu memanfaatkan kira-kira 75-80% hijauan. Pada ternak ruminansia, serat kasar hijauan memperpanjang waktu penahanan pakan dalam saluran pencernaan, tetapi hal yang sebaliknya terjadi pada kelinci.
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Pengembangan dan Penelitian Peternakan (1984) Read more!
Walaupun mampunyai caecum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak herbivora lainnya (Slade dan Hintz, 1969). Untuk hijauan muda, daya cerna serat kasarnya mungkin hanya 10% (Uden dan Van Soest, 1982). Namun Parker (1976) memperkirakana bahwa asam-asam lemak terbang (VFA, Volatile Faty Acids) hasil fermentasi oleh mikroba dalam cekum menyumbang 30% dari kebutuhan energi untuk pemeliharaan tubuh (maintenance). Selanjutnya dikatakan bahwa kelinci mampu mencerna protein pada tingkat yang sama dengan, dan ekstrak ether pada tingkat yang lebih tinggi dari herbivora lainnya. Hal ini mungkin berhubungan dengan sifat-sifat caecotrophynya.
Kemampuan kelinci untuk mencerna serat kasar (ADF, Acid Detergent Fibbre) dan lemak bertambah pada umur 5-12 minggu (Evans dan Jabeliani, 1982). Hal ini penting artinya dalam standarisasi umur kelinci untuk pengukuran daya cerna (digestibility).
Pencegahan caecotrophy pada kelinci (6-8 minggu) menyebabkan penurunan pertumbuhan dan penurunan kemampuan daya cerna protein dari 77 menjadi 69% (Stephenss, 1977). Meskipun pembuangan caecum melalui pembedahan menghsilkan pembesaran kolon, ternyata kelinci tanpa caecum tidak melakukan caecotrophy (Herndon dan Hove, 1955).
Komposisi kimia dari kotoran lunak sangat berbeda dari kotoran keras yang dikeluarkan (Harris, 1983). Kotoran lunak diselaputi mukosa, mengandung sedikit bahan kering (31%) namun tinggi dalam protein (28,5%) bila dibandingkan dengan kotoran keras (53% bahan kering dan 9,2% protein). Kotoran lunak juga lebih banyak mengandung vitamin B. Knutson dkk. (1977) melaporkan bahwa populasi mikroba yang terdapat dalam caecum sangat aktif dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang memasuki caecum dan protein mikroba ini turut menyumbang tingginya kadar protein dalam kotoran ternak.
Spreadbury (1978) melaporkan bahwa kelinci sapihan dengan berat 1 kg menghasilkan 28 g kotoran lunak, yang mengandung 3 g protein setiap hari. Spreadbury (1978) menghitung bahwa dari 28 g kotoran lunak dikandung o,35 g nitrogen yang berasal dari bakteri atau kira-kira 1,3 g protein. Selama ransum-ransum diatas hanya mengandung kurang lebih 8% serat kasar, kemungkinan perkiraan Spreadbury (1978) bahwa protein kasar (106 g/kg) yang terkandung dalam feses lunak adalah minimum.
Agak sukar dijelaskan mengapa kelinci memiliki kemampuan yang rendah untuk mencerna serat kasar, bahkan sering lebih rendah daripada babi (Farrell, 1973) dan kemungkinan hal ini berhubungan dengan waktu 'transit' yang cepat dari bahan-bahan berserat melalui saluran pencernaan (Uden dan Van Soest, 1982). Sebaliknya Cheeke (1981) menunjukkan bahwa kelinci mampu memanfaatkan kira-kira 75-80% hijauan. Pada ternak ruminansia, serat kasar hijauan memperpanjang waktu penahanan pakan dalam saluran pencernaan, tetapi hal yang sebaliknya terjadi pada kelinci.
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Pengembangan dan Penelitian Peternakan (1984) Read more!
Bangsa dan Mutu Daging Kelinci
Ada dua bangsa kelinci komersial yang paling umum yaitu New Zealand White dan California. Hasil silangan dari kedua bangsa ini disebut White Pearl (California jantan x New Zealand White betina). Kelinci-kelinci pedaging ini dapat mencapai berat 2 kg pada umur 8 minggu dengan tingkat pertumbuhan sebesar 40 g per hari. Hasil karkasnya antara 50-60% dari berat hidup. Bangsa-bangsa kelinci yang lain dari hasil silangannya masih sedang dipelajari (Ourharyoun dan Poujardieu, Lukehfar dkk. 1980, 1981a), terutama dalam penggunaan kelinci jantan tipe besar yang disilangkan dengan induk dari bangsa yang lebih kecil.
Di Indonesia terdapat bangsa kelinci lokal yang lebih kecil dari kelinci impor. Meskipun kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, mungkin ada gunanya untuk menyilangkan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas.
Jumlah anak kelinci dari seekor induk (litter size) biasanya 8-10, tetapi tingginya derajat kematian (mortalitas), kurang lebih 25%, menyebabkan hanya 5-6 ekor anak kelinci yang hidup waktu disapih. Penyapihan biasanya dilakukan pada umur 3-5 minggu. Dalam praktek komersial seekor induk dapat dikawinkan kembali 10-15 hari setelah melahirkan. Seekor jantan dapat digunakan untuk melayani 10 ekor induk.
Air susu induk kelinci biasanya mengandung 120 g protein dan 155 g lemak per kg, dengan puncak produksi antara 12-28 hari masa laktasi dan berhenti berproduksi setelah 45 hari. Komposisi air susu berubah dengan tingkat laktasi. Lebih banyak lemak (186 g) dan protein (125 g) yang diproduksi sesudah 4 minggu laktasi (Partridge dkk. 1983).
Daging kelinci yang dapat dimakan mengandung lemak sebesar 75 g/kg dan sebagian besar dalam bentuk lemak tidak jenuh, dengan kandungan kolesterol sebesar 1,39 g/kg. Kandungan energi dan protein karkas dapat berubah karena tingkat pertumbuhan atau karena rasio komposisi bahan pakan dalam ransum (Fraqa dkk. 1983). Kelinci yang lambat tumbuhnya mengandung protein tinggi dan rendah kadar lemaknya dibandingkan dengan kelinci yang cepat tumbuhnya. Pengujian rasa daging kelinci di Amerika menunjukkan bahwa daging kelinci dapat diterima dengan baik, walaupun hamburger yang mengandung daing kelinci sedikit kurang disukai dibandingkan dengan hamburger yang mengandung daging sapi atau campuran daing sapi dengan daging kelinci (50:50) (Rao dkk. 1979).
Berat karkas kelinci (5%) umumnya 50% dari berat hidupnya (W) dan dapat dihitung dari rumus (Lukefahr dkk. 1981b):
41.6 + 6.09 W
Jadi bila berat hidup kelinci = 2 kg, maka berat karkasnya adalah
= 41.6 + 6.09 x 2 = 53.7%
Berat daging yang dapat dimasak (kg) dari berat hidup (W) dan lebar pinggul (L, cm) adalah:
-0.24 + 0.318 W + 0.023 L
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
CEKAMAN SUHU PADA KELINCI
Suhu yang tinggi umumnya menurunkan konsumsi pakan dan akibatnya menurunkan produksi ternak. Kelinci karena berbulu tebal, sangat peka terhadap suhu lingkungan yang tinggi. Stephen (1980) menunjukkan bahwa kelinci-kelinci yang sedang tumbuh, dengan berat awal 1200 g, tumbuh terbaik pada suhu 18derajat celcius. Penurunan berat badan secara drastis terjadi pada suhu 30 derajat celcius dengan kelembaban nisbi 60%. Penurunan berat ini terjadi karena kurangnya konsumsi pakan dan rendahnya efisiensi penggunaan pakan dibandingkan dengan kelinci-kelinci pada suhu 18 derajat celcius. Pada suhu tinggi, performans reproduksi juga berkurang. Pada kelinci jantan sering terjadi kenaikan pH semen, penurunan pergerakan (motility) sperma, berkurangnya konsentrasi sperma dan naiknya jumlah sperma yang abnormal (Hiroe dan Tomizuka, 1965). Hal ini menyatakan adanya penurunan dalam tingkat kehidupan embryo pada suhu tinggi (Shah, 1956). Enos dkk. (1979) melaporkan bahwa kelinci dewasa dianggap steril bila suhu udara sekitar mencapai lebih dari 30 derajat celcius selama 4 atau 5 hari berturut-turut. Meskipun kelinci jantan tersebut tetap aktif, ketidak suburannya terus berlangsung sampai 2 bulan. Enos dkk. (1979) menganjurkan bahwa cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan pejantan muda (6-7 bulan) yang tidak mudah menjadi steril pada suhu 30-32 derajat celcius.
“High temperature generally depresses feed intake and therefore production in domestic livestock. The rabbit, because of its dense fur is particularly vulnerable. Stephen (1980) showed that growing rabbit, initially weighing 1200 g, grew best at 18 degrees and a substantial depression in gain occurred at 30 degrees with a relative humidity of 60%. This depression was due to reduced feed intake and a poorer feed efficiency compared with at 18 degrees. At high temperatures reproductive performance is also reduced. In bucks, there is often an increase in pH of the semen, a fall in sperm motility, a decrease in sperm concentration of abnormal spermatozoa (Hiroe dan Tomizuka, 1965). In does there is a decrease in embryonic survival at high temperature Shah, 1956). Enos et al. (1979) reported that a mature buck is rendered sterile when the ambient temperature exceed 30 degrees for 4-5 consecutive days. Although the buck may remain sexually active, sterllity continues for up to 2 months. Enos et al. (1979) suggested that the way to overcome the problem was to use young bucks (6-7 months) who do not easily become sterile at temperatures around 30-32 degrees.”
Sumber: Potensi Ternak Kelinci Sebagai Ternak Penghasil Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984)
Read more!
LACTATION
The young are suckled once daily and then for only about 5 min. The doe produces up to 280 g/d of milk containing about 3 MJ of gross energy. Lukefahr dkk. (1981a) reported average production of 180 g/d for New Zealand White does during the first three weeks of lactation, with a peak yield of 228 g/d. It can be calculated that the doe will need about 32 g/d of additional protein of high biological value to meet the needs of peak lactation. Lebas (disitasi oleh Cheeke dan Patton, 1981) suggested that the diet contain per kg: 180 g crude protein, 7.5 g of lysin, and a DE of 11.3 NJ. This would represent a daily intake of about 400 g during the first three weeks of lactation the doe is in negative energy balance (Partridge dkk. 1983). She was thus providing nutrients and particularly energy from her body tisssue reserves during most of lactation even though the doe was gaining weight during this time.
Sumber: 'Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging', Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (1984) Read more!"Anak-anak kelinci hanya menyusui 1 x sehari selama kurang lebih 5 menit. Induk kelinci menghasilkan air susu sampai sebanyak 280 g/hari, yang mengandung sekitar 3 MJ energi kasar. Lukefahr dkk. (1981a) melaporkan rata-rata produksi air susu New Zealand White adalah 180 g/hari selama 3 minggu pertama masa laktasi, dengan puncak produksi sebesar 228 g/hari. Dari hasil ini dapat dihitung bahwa seekor induk kelinci membutuhkan tambahan protein yang bernilai biologis tinggi sebesar 32 g/hari untuk memenuhi puncak laktasi. Lebas (disitasi oleh Cheeke dan Patton, 1981) menganjurkan agar per kilogram ransum mengandung: 180 g protein, 7.5 g lysin dan DE sebesar 11.3 MJ. Jumlah ini akan mewakili konsumsi harian sebesar 400 g selama 3 minggu laktasi. Namun ternyata bahkan dalam kondisi nutrisi yang optimum, setelah minggu pertama laktasi, induk kelinci keseimbangan energi yang negatif (Partridge dkk. 1983). Oleh karena itu, induk kelinci akan menyediakan zat-zat gizinya, terutama energi dari cadangan jaringan tubuhnya selama hampir seluruh masa laktasi meskipun induk kelinci memperoleh tambahan berat badan selama masa itu."
Pengikut
Kurs Mata Uang Terkini
Archive
Labels
- Berbagai Pertimbangan Sosial Ekonomi dalam Usaha Ternak Kelinci Skala Kecil dan Menengah (1)
- Ide Bisnis (2)
- INDUSTRIALIZATION AND GLOBALIZATION 0F ANIMAL AGRICULTURE: IMPLICATIONS FOR SMALL AND MEDIUM SCALE RABBIT PRODUCTION (1)
- Karir (1)
- Motivasi (5)
- Obat dan Suplemen (3)
- Pakan Kelinci (3)
- Pertanian Organik (1)
- Perubahan Histologik Jaringan Hypofise Kelinci Jantan Setelah Mendapat Suntikan Tunggal Hormon Testosteron (3)
- Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging (6)
- Produk (2)
- Ramadhan (1)
- Syariah (1)
- Urin Kelinci (1)
- Usaha Kelinci (1)
Total Tayangan Halaman
Diberdayakan oleh Blogger.